Refleksi pertemuan keempat mata
kuliah Filsafat Ilmu bersama Prof. Marsigit, M. A
Kelas Pendidikan Matematika Pascasarjana kelas A
Pertemuan
keempat kelas Filsafat bersama Prof. Marsigit, M. A pada hari selasa, 2 Oktober
2018 jam 15.30 di ruang 1.1 Gedung Pascasarjana Baru. Seperti pada pertemuan
sebelumnya perkuliahan dimulai dengan susunan bangku berbentuk letter U dan pembelajaran diawali dengan
berdoa menurut kepercayaan masing-masing.
Pada pertemuan ini
ketika Pak Marsigit masuk ke dalam ruang kulah terdengar euforia para
mahasiswa. Ada riuh rendah, riuh sedang dan riuh tinggi. Berdasarkan keadaan
eforia tersebut maka Pak Marsigit menjelaskan bahwa euforia dapat ditingkatkan
dari euforia, material, formal, normatif, sampai spiritual. Euforia spiritual tidak
terdengar oleh itelinga dan tidak terlihat oleh mata.
Menanggapi penjelasan Pak Marsigit
tentang euforia, Totok bertanya bahwa apakah euforia bisa muncul karena rasa
takut? Pak Marsigit menjelaskan bahwa perlu dilabelkan dulu euforia itu positif
atau negatif. Objektivitas juga ada dalam filsafat. Rasa takut bisa postif atau
negatif. Ini menyatakan bahwa kebenaran umum belum pasti benar menurut
filsafat. Filsafat adalah tentang penjelasan, tentang bagaimana memikirkan
sesutau. Sebenar-benar hidup adalah ketertimpaan antara sifat. Kalau tidak ada
ketertimpaan tidak bisa hidup. Contohnya jika jawabannya dari Pak Marsigit,
maka kita telah ditimpa oleh sifat Pak Marsigit. Bernapas artinya hidung
tertimpa oleh oksigen. Kalau tidak ada peristiwa demikian maka kita tidak akan
hidup. Memandang, pandanganmu sudah menimpa orang lain. Ketika kamu memikirkan
orang yang kamu cintai, pikiranmu sudah menimpa dia. Doa juga begitu, Kalau
kita mendoakan seseorang, doa kita sudah menimpa kepadanya. Itulah sebabnya
kita jangan mendoakan yang jelek. Tsunami, gempa bumi adalah juga contoh satu sifat yang menimpa
sifat lain. Jadi dalam filsafat terdapat kesetaraan antara gempa bumi, tsunami,
rumah ambruk, memandang orang lain atau orang lain memandang kita.
Pertanyaan lain datang dari Ibrahim
yaitu bagaimana cara berpikir dalam berfilsafat, kita harus berpikir intensif
dan ekstensif. Bagaimana kita tahu kita sudah berpikir demikian?
Pak Marsigit menjawab bahwa saya ekstensikan,
bagaimana kita. Kita itu siapa. Satu orang yang mudah terjebak, satu level
menganggap semuanya sudah. Bagaimana binatang berpikir, tumbuhan mampu
berpikir. Kalau tidak mau berpikir maka kamu tidak berfilsafat. Berfilsafat
adalah bagaimana penjelasan kita dan seberapa jauh uraian kita. Tapi tidak
menjelaskan bahwa itu penjelasan. Bukan penjelasan tapi penjelasan. Binatang, tumbuhan,
batu yang berpikir itu seperti apa. Batu cenderung di bawah, pasir di atas
selalu begitu. Batu besar cenderung sulit hanyut. Jadi pikiran para batu adalah
kodratnya. Hukum alam itu pikiran para batu. Hukum alam ada sifat, naluriah.
Karena suatu hal, keadaan. Keadaan satu menarik keadaan lain. Keadaan menimpa
atau keadaan yang ditimpa. Setiap saat kita menimpa atau ditimpa. Maka sebenar-benar
hidup adalah sifat.
Diakhir pertemuan kali ini Pak Marsigit berpesan
mengenai komentar di blognya bahwa syarat berkomentar ikhlas dalam hati dan pikiran.
Ikhlas dalam hati bersyukur, istiqomah, tuma’ninah, berniat baik, tidak
manipulasi, jangan tergesa-gesa, dan jangan bingung. Semakin panjang komentar
maka akan semakin melengkapi dunia ini. Namun jika komentar cenderung pendek maka cenderung otoriter. Ini
mengingatkan kita bahwa kematian terjadi dimana-mana, di darat, di laut, bahkan
di blog. Ikhlas dalam pikir itu memahami apa yang ditulis dan dibaca. Seperti yang dikatakan oleh Kyai, “Sebenar-benar
saya melihat mayat-mayat berjalan tidak dalam keadaan berdoa”. Dalam filsafat, sebenar-benarnya
melihat mayat-mayat adalah yang tidak dalam keadaan berpikir.
No comments:
Post a Comment