Monday, November 12, 2018

REFLEKSI FILSAFAT PERTEMUAN KEEMPAT


Refleksi pertemuan keempat mata kuliah Filsafat Ilmu bersama Prof. Marsigit, M. A
Kelas  Pendidikan Matematika Pascasarjana kelas A

Pertemuan keempat kelas Filsafat bersama Prof. Marsigit, M. A pada hari selasa, 2 Oktober 2018 jam 15.30 di ruang 1.1 Gedung Pascasarjana Baru. Seperti pada pertemuan sebelumnya perkuliahan dimulai dengan susunan bangku berbentuk letter U dan pembelajaran diawali dengan berdoa menurut kepercayaan masing-masing.
Pada pertemuan ini ketika Pak Marsigit masuk ke dalam ruang kulah terdengar euforia para mahasiswa. Ada riuh rendah, riuh sedang dan riuh tinggi. Berdasarkan keadaan eforia tersebut maka Pak Marsigit menjelaskan bahwa euforia dapat ditingkatkan dari euforia, material, formal, normatif, sampai spiritual. Euforia spiritual tidak terdengar oleh itelinga dan tidak terlihat oleh mata.  
Menanggapi penjelasan Pak Marsigit tentang euforia, Totok bertanya bahwa apakah euforia bisa muncul karena rasa takut? Pak Marsigit menjelaskan bahwa perlu dilabelkan dulu euforia itu positif atau negatif. Objektivitas juga ada dalam filsafat. Rasa takut bisa postif atau negatif. Ini menyatakan bahwa kebenaran umum belum pasti benar menurut filsafat. Filsafat adalah tentang penjelasan, tentang bagaimana memikirkan sesutau. Sebenar-benar hidup adalah ketertimpaan antara sifat. Kalau tidak ada ketertimpaan tidak bisa hidup. Contohnya jika jawabannya dari Pak Marsigit, maka kita telah ditimpa oleh sifat Pak Marsigit. Bernapas artinya hidung tertimpa oleh oksigen. Kalau tidak ada peristiwa demikian maka kita tidak akan hidup. Memandang, pandanganmu sudah menimpa orang lain. Ketika kamu memikirkan orang yang kamu cintai, pikiranmu sudah menimpa dia. Doa juga begitu, Kalau kita mendoakan seseorang, doa kita sudah menimpa kepadanya. Itulah sebabnya kita jangan mendoakan yang jelek. Tsunami, gempa bumi  adalah juga contoh satu sifat yang menimpa sifat lain. Jadi dalam filsafat terdapat kesetaraan antara gempa bumi, tsunami, rumah ambruk, memandang orang lain atau orang lain memandang kita.
Pertanyaan lain datang dari Ibrahim yaitu bagaimana cara berpikir dalam berfilsafat, kita harus berpikir intensif dan ekstensif. Bagaimana kita tahu kita sudah berpikir demikian?
Pak Marsigit menjawab bahwa saya ekstensikan, bagaimana kita. Kita itu siapa. Satu orang yang mudah terjebak, satu level menganggap semuanya sudah. Bagaimana binatang berpikir, tumbuhan mampu berpikir. Kalau tidak mau berpikir maka kamu tidak berfilsafat. Berfilsafat adalah bagaimana penjelasan kita dan seberapa jauh uraian kita. Tapi tidak menjelaskan bahwa itu penjelasan. Bukan penjelasan tapi penjelasan. Binatang, tumbuhan, batu yang berpikir itu seperti apa. Batu cenderung di bawah, pasir di atas selalu begitu. Batu besar cenderung sulit hanyut. Jadi pikiran para batu adalah kodratnya. Hukum alam itu pikiran para batu. Hukum alam ada sifat, naluriah. Karena suatu hal, keadaan. Keadaan satu menarik keadaan lain. Keadaan menimpa atau keadaan yang ditimpa. Setiap saat kita menimpa atau ditimpa. Maka sebenar-benar hidup adalah sifat.
Diakhir pertemuan kali ini Pak Marsigit berpesan mengenai komentar di blognya bahwa syarat berkomentar ikhlas dalam hati dan pikiran. Ikhlas dalam hati bersyukur, istiqomah, tuma’ninah, berniat baik, tidak manipulasi, jangan tergesa-gesa, dan jangan bingung. Semakin panjang komentar maka akan semakin melengkapi dunia ini. Namun jika komentar cenderung  pendek maka cenderung otoriter. Ini mengingatkan kita bahwa kematian terjadi dimana-mana, di darat, di laut, bahkan di blog. Ikhlas dalam pikir itu memahami apa yang ditulis dan dibaca.  Seperti yang dikatakan oleh Kyai, “Sebenar-benar saya melihat mayat-mayat berjalan tidak dalam keadaan berdoa”. Dalam filsafat, sebenar-benarnya melihat mayat-mayat adalah yang tidak dalam keadaan berpikir.


No comments:

Post a Comment